SDH Lippo Harapan Sekolah Dian Harapan Display Ad
Monday, February 17, 2025
spot_imgspot_img
HomeNewsHarga BBM Naik, Apa Dampaknya bagi Ekonomi Indonesia?

Harga BBM Naik, Apa Dampaknya bagi Ekonomi Indonesia?

MediaGo – Pemerintah Indonesia akhirnya menaikkan harga BBM bersubsidi pada akhir pekan lalu. Harga bensin varian Pertalite menjadi Rp10.000 per liter atau naik 30,7% dari harga sebelumnya. Sementara harga solar disel naik 32% menjadi Rp6.800 per literl. Kenaikan itu berlaku sejak diumumkan tanggal 3 September 2022.

Secara bersamaan, harga bahan bakar RON92 atau Pertamax juga menjadi Rp14.500 per liter atau naik 16% dari bulan sebelumnya, dan naik tajam hingga 60% dari tingkat akhir 2021, dengan memasukkan kenaikan harga sebelumnya sebagai pertimbangan.

Baca juga: Kenaikkan BBM Pertalite dan Solar Agar Subsidi Lebih Tepat Sasaran

Keputusan menyesuaikan harga bahan bakar bukan kejutan dan telah diisyaratkan dalam beberapa pekan terakhir karena tekanan fiskal meningkat akibat alokasi subsidi tinggi dan kompensasi kepada pemasok energi milik negara. Walaupun telah dilakukan penyesuaian harga, namun masih di bawah tingkat pasar.

Pemerintah juga berencana membatasi penjualan BBM bersubsidi berdasarkan atas ukuran mesin kendaraan, yang rinciannya akan diumumkan dalam beberapa pekan mendatang. Tujuannya ialah untuk membantu rumah tangga berpenghasilan rendah walau tidak mudah untuk mengimplementasikannya. 

Dampak kenaikan harga BBM subsidi.
Dampak kenaikan BBM subsidi terhadap ekonomi indonesia.

Dampak Kenaikan BBM Subsidi

Ekonom Senior DBS Group Research Radhika Rao menilai pemotongan subsidi memang dibutuhkan untuk perekonomian Indonesia dalam jangka menengah. Ada dua sudut pandang mengapa pemotongan subsidi memang dibutuhkan.

Pertama, alokasi subsidi dan kompensasi ke BUMN terkait (Pertamina dan PLN) mencapai 16% dari total belanja tahun ini. Keterlambatan penyesuaian harga mungkin memerlukan tambahan Rp100 triliun sampau Rp200 triliun atau kenaikan 25%.

Asumsi harga minyak mentah Indonesia dalam APBN 2022 telah dinaikkan dari 63 dolar AS per barel menjadi di atas 100 dolar AS dan kemungkinan akan bertengger di sekitar 105 dolar AS, kata menteri keuangan. Itu mengharuskan subsidi 2022 dinaikkan tiga kali sejak perkiraan awal yang dianggarkan, memperkecil selisih antara dana yang dibutuhkan dan sumber dana yang tersedia.

Baca juga: Harga Pertalite dan Solar Naik, Pertamina Pastikan Stok BBM Subsidi Aman

Berdasarkan catatan DBS Group Research, matematika fiskal 2022 dalam kondisi baik, dengan neraca fiskal Januari hingga Juli 2022 surplus 0,57% dari PDB jika dibandingkan dengan target yang dianggarkan setahun penuh, yaitu -4,85%.

Pendapatan total (21% secara tahunan) diuntungkan oleh pembukaan kembali ekonomi, pajak perusahaan (didorong oleh industri pengolahan), pemungutan non-pajak kuat, yang terdiri atas pendapatan berbasis sumber daya, dan penerapan Undang-Undang Pajak Harmonisasi (HPP), yaitu kenaikan PPN, pajak kripto, dan lainnya.

Baca juga: BBM Resmi Naik, Pertalite Rp10.000 dan Solar Rp6.800

Pengeluaran belanja menjadi lebih lambat karena keterlambatan belanja kementerian, sementara alokasi untuk subsidi dan program bantuan sosial meningkat untuk melindungi daya beli riil masyarakat.

Kondisi ini mendukung keyakinan pemerintah bahwa defisit fiskal 2022 dapat membaik menjadi -3,9% dari PDB (Rp732,2 triliun) jika dibandingkan dengan indikasi sebelumnya, -4,5%, dan yang dianggarkan, -4,85%. Perkiraan DBS Group Research untuk 2022 direvisi menjadi -3,5% dari PDB.

Ekonom Senior DBS Group Research Radhika Rao menilai pemotongan subsidi memang dibutuhkan untuk perekonomian Indonesia dalam jangka menengah.
DBS Group Research menilai pemotongan subsidi dibutuhkan untuk perekonomian Indonesia dalam jangka menengah.

Hal penting adalah kenaikan harga BBM lebih mendukung keuangan 2023 ketimbang 2022. Kemenkeu memperkirakan subsidi dan pengeluaran kompensasi pada 2023 sebesar Rp337 triliun, turun dari Rp502 triliun pada tahun ini. Pada saat sama, faktor positif yang membuat pendapatan industri pengolahan meningkat dan sumber daya alam mungkin menurun pada tahun depan.

Itu sebabnya ada mandat untuk menurunkan defisit fiskal 2023 kembali ke -3% dari PDB dan subsidi energi dipotong sepertiga, menunjukkan penyesuaian harga bahan bakar dimasukkan ke dalam perhitungan tahun depan. Dengan pemilihan umum akan berlangsung pada awal 2024, kesempatan mengambil keputusan peka secara politik juga menyempit dengan cepat.

Baca juga: Resmi Diluncurkan, Siapa saja yang Bisa Pakai Kartu Kredit Pemerintah Domestik?

Kedua, perbedaan yang signifikan antara harga BBM nonsubsidi dan BBM bersubsidi memengaruhi pola konsumsi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif sebelumnya mengisyaratkan bahwa jatah konsumsi bahan bakar mungkin habis pada Oktober jika laju konsumsi saat ini berlanjut.

Per 22 Juli, solar bersubsidi mencapai 9,9 juta kl, yaitu dua pertiga dari jatah untuk tahun ini, dan bensin bersubsidi 16,8 juta kl, atau 73% dari jatah, kata Pertamina. Pada Agustus, bensin kemungkinan mencapai 80% dari ambang batas.

Baca juga: Pengertian dan Perbedaan Bi-Fast dengan Real-Time Online

Kenaikan harga bahan bakar ~30% sudah pernah terjadi sebelumnya. Menjelang kenaikan harga BBM terakhir pada 2014, inflasi utama melonjak dari rata-rata 5,3% yoy dalam enam bulan sebelumnya menjadi 6,8% setelah kenaikan. Menjelang penyesuaian harga itu, DBS Group Research telah membuat serangkaian skenario.

Pasca pengumuman, perhitungan DBS Group Research menunjukkan bahwa skala penyesuaian harga akan memberikan dampak tidak langsung besar terhadap inflasi setahun penuh, ~94-100bps, dengan dampak bersih tambahan sebesar 50-60bp karena kenaikan harga bahan bakar merembes ke sub-segmen lain, termasuk makanan, biaya transportasi dan segmen terkait lain, selama 3-6 bulan ke depan.

Baca juga: Bank Indonesia Cabut dan Tarik Peredaran 2 Uang Rupiah Khusus Tahun Emisi 1995

Antara Januari-Agustus 2022, inflasi Indeks harga Konsumen (IHK) utama rata-rata 3,5% secara tahunan, sesuai perkiraan setahun penuh DBS Group Research, yaitu 4%. Dengan memperhitungkan pemotongan subsidi, DBS Group Research memperkirakan inflasi utama pada akhir 2022 mengarah ke angka 6,5-7% secara tahunan dan menaikkan rata-rata setahun penuh ke 5,0%.

DBS Group Research juga menaikkan inflasi rata-rata 2023 menjadi 3,8% vs 2,7% karena indikasi tinggi pada paruh pertama 2023 dan penurunan didorong oleh unsur basis pada paruh kedua tahun ini. 

CopyAMP code

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -spot_img

Most Popular

spot_img