Di Indonesia, batasan usia masih menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi saat mencari kerja, terutama mereka yang sudah memasuki usia kepala tiga. Meski zaman terus berubah dan konsep “usia produktif” semakin fleksibel, banyak perusahaan masih mencantumkan syarat usia maksimal dalam lowongan kerja—misalnya, maksimal 30 tahun atau bahkan 27 tahun.
Praktik ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah usia benar-benar menjadi tolok ukur kemampuan dan potensi seseorang dalam bekerja?
Menurut Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, alasan di balik kebijakan ini cukup pragmatis. Ia menyebut bahwa ketimpangan antara jumlah pelamar dan ketersediaan lowongan menjadi penyebab utama.
“Misalnya buka lowongan untuk 10 orang tapi yang daftar 1.000 orang. Apa iya 1.000 orang itu harus dites satu-satu? Enggak kan? Makanya perusahaan berpikir, ya sudahlah yang di atas 30 tahun enggak usah melamar,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Senin (12/5/2025).
Bob menjelaskan bahwa batas usia bukan sepenuhnya soal produktivitas, melainkan lebih pada cara menyaring jumlah pelamar agar proses rekrutmen lebih efisien.
Perbandingan dengan Negara Lain

Bob kemudian membandingkan kondisi di Indonesia dengan negara tetangga, Singapura. Di sana, batasan usia dalam mencari kerja nyaris tidak pernah terlihat, bahkan seseorang yang berusia 70 tahun masih bisa diterima bekerja di sektor informal seperti kebersihan.
“Di Singapura saja umur 70 tahun juga diterima kerja bersih-bersih karena lapangan pekerjaannya banyak, suplainya sedikit. Jadi persoalannya bukan di soal usia produktif atau tidak, tapi lapangan kerjanya yang terlalu sedikit dibuka di Indonesia,” katanya.
Artinya, selama ada cukup lapangan pekerjaan, persoalan usia tidak akan terlalu menjadi sorotan. Tantangan terbesar di Indonesia justru adalah terbatasnya lowongan kerja dibandingkan dengan tingginya jumlah angkatan mencari kerja yang terus tumbuh setiap tahun.
Budaya Mencari Kerja dan Generasi

Sementara itu, konsultan karier dan pendiri platform pendidikan @Jurusanku, Ina Liem, punya pandangan berbeda. Ia menilai bahwa batasan usia sering kali diberlakukan untuk menjaga keselarasan budaya kerja antar generasi dalam perusahaan.
Menurutnya, tidak semua perusahaan merasa nyaman dengan percampuran usia dalam tim kerja. “Ada perusahaan yang merasa lebih cocok merekrut generasi milenial dibanding Gen Z,” ujarnya.
Namun, lanjut Ina, fenomena ini juga bisa terjadi sebaliknya. Di perusahaan berbasis digital, justru generasi Z lebih diincar karena dinilai lebih mengikuti tren terkini dan memiliki kemampuan adaptasi yang lebih cepat terhadap teknologi.
“Ada juga perusahaan dunia digital yang justru lebih suka merekrut generasi Z, selain karena bisa dibayar dengan upah yang minimal, Gen Z dianggap lebih kekinian dan cocok untuk perkembangan digital,” jelas Ina.
Menyesuaikan Diri dengan Tren

Dalam kondisi seperti ini, para pencari kerja yang berada di luar rentang usia ideal yang ditentukan perusahaan dituntut untuk lebih adaptif. Mereka harus bisa menunjukkan nilai lebih yang tidak dimiliki oleh kandidat yang lebih muda, seperti pengalaman, kestabilan emosi, dan loyalitas terhadap pekerjaan.
Beberapa perusahaan modern mulai beralih dari pendekatan umur ke pendekatan berbasis kompetensi dan karakter. Mereka mulai menyadari bahwa usia tidak selalu mencerminkan kemampuan atau motivasi mencari kerja seseorang.
“Usia seharusnya tidak menjadi penghalang jika seseorang masih memiliki semangat, kemampuan, dan kemauan untuk belajar,” kata Dwi Setiawan, seorang HR Manager di perusahaan multinasional yang kini mengadopsi sistem rekrutmen berbasis skill.
Langkah Pemerintah

Pemerintah sebenarnya telah menyadari persoalan ini. Kementerian Ketenagakerjaan RI beberapa kali menyuarakan pentingnya transformasi sistem perekrutan agar lebih inklusif dan adil. Beberapa inisiatif seperti program upskilling dan reskilling bagi usia 30 tahun ke atas mulai diperkenalkan.
Namun, menurut Bob Azam, perbaikan struktural tetap diperlukan, terutama dalam memperluas lapangan dalam mencari kerja di sektor formal dan informal. “Selama lapangan kerja terbatas (sehingga mencari kerja sangat sulit), penyaringan ketat seperti batasan usia akan tetap digunakan,” ujarnya.
Batasan usia dalam lowongan kerja mencerminkan ketidakseimbangan antara jumlah pelamar dan ketersediaan pekerjaan. Meski tampak diskriminatif, praktik ini sering kali dijadikan jalan pintas untuk menyederhanakan proses rekrutmen.
Namun, perubahan mulai terlihat. Beberapa perusahaan mulai menilai kandidat berdasarkan kemampuan, bukan usia. Dengan dorongan dari pemerintah dan kesadaran dari pelaku industri, diharapkan ke depan lebih banyak perusahaan yang membuka peluang kerja tanpa memandang umur.
Karena pada akhirnya, semangat, kemampuan, dan kemauan untuk berkembang tidak mengenal batas usia.