MediaGo – Pada tahun lalu, Microsoft merilis Digital Civility Index (DCI) yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia ternyata menjadi pengguna internet yang paling rendah bertata krama di Asia Tenggara. Hal ini tentunya bisa memicu hal atau tindakan negatif yang dilakukan sejumlah oknum. Salah satunya adalah kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Farah Puteri Nahlia, Anggota Komisi I DPR RI mengatakan, tingkat KBGO di Tanah Air cukup memprihatinkan. Merujuk data Komnas Perempuan, pada tahun 2021 tercatat ada 1.721 kasus kekerasan seksual di dunia maya. Mirisnya, kasus tersebut meningkat sebesar 83 persen dari tahun 2020 yang tercatat 940 kasus.
”Di ranah publik ada 489 kasus merupakan cyber harassment. Lalu, 472 kasus sextortion, 158 kasus malicious distribution dan di ranah personal ada 683 kasus sextortion. Kemudian, 279 kasus malicious distribution dan 277 kasus cyber harassment. Pelakunya mayoritas orang terdekat dari korban, seperti suami, mantan suami, pacar bahkan teman dekat,” ujar Farah dalam webinar bertajuk Ngobrol Bareng Legislator: “Melawan Pelecehan Seksual Di Dunia Diqital”, Kamis (14/4/2022).
Baca juga: Menjadi Pahlawan Di Era Digital
Lebih jauh dia menjelaskan, dalam kasus tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan melalui penerapan etika digital. Salah satunya masyarakat harus mengetahui segala jenis informasi negatif seperti hoax, ujaran kebencian, pornografi, perundungan, dan sebagainya. Ini dilakukan agar menghindari dan terhindar dari hal negatif tersebut.
“Masyarakat juga harus mengetahui kaidah-kaidah dalam berinteraksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi di ruang digital. Karena ruang digital jauh berbeda dengan dunia nyata, seperti menggunakan bahasa yang sopan, hingga menghindari interaksi-interaksi yang berujung ke hal negative,” ungkap Farah.
Bagi penyintas KBGO, Farah menyarankan, korban tak perlu perlu takut. Ada beberapa cara untuk mengamankan diri dan meminta pertanggungjawaban pelaku. Salah stu caranya dengan mendokumentasikan peristiwa KBGO yang pernah dialami secara kronologis apabila memungkinkan.
“Hal ini dapat menjadi bukti kuat yang dapat dilaporkan pada pihak berwenang untuk mengusut kasus yang dialami. Korban juga dapat mengamankan diri dengan melaporkan dan blokir pelaku di platform media digital yang digunakan,” ungkap Farah.
Di kesempatan yang sama, Gia Raharja, Guardian salingjaga.id menjelaskan ada sejumlah faktor yang menimbulkan aksi kekerasan seksual terhadap perempuan dan kaum rentan. Jika dilihat dari sisi pelaku, orang yang melakukan kekerasan seksual itu disebabkan karena memiliki dominasi terhadap korban, misalnya dia adalah guru dan lain sebagainya. Bisa juga karena faktor individu yang mengalami ketergantungan terhadap obat-obatan tertentu.
Sedangkan dari sisi korban, Gia menjelaskan bisa disebabkan karena seseorang tidak berdaya secara ekonomi, sehingga dia masuk ke dalam ‘ruang’ yang tidak diinginkan. “Contohnya korban dinikahkan sama pelaku, tertekan dan sulit berfikir logis sehingga mengalami kesusahan dalam menolak atau menghindar,” tambahnya.
Menurut Gia, apabila ada perempuan dan kaum rentan yang mendapatkan pelecehan seksual, terutama di media sosial, hal yang pertama dilakukan adalah tenang dan jangan terlalu panik berlebihan. Korban juga diharapkan tetap bisa berpikir jernih. “Selanjutnya, cari support system yang bisa itu dari teman, sahabat, orangtua, dan yang lain sekiranya bisa menenangkan dan mendampingi diri korban,” jelasnya.
Setelah mendapatkan support system, kata Gia, korban juga harus berusaha menguatkan diri dengan selalu berpikir positif ke depan. “Berhenti berpikir atau fokus terhadap masa lalu yang terjadi,” lanjutnya.
Baca juga: Begini Cara Mencegah Penipuan Di Ranah Digital
Sementara, Samuel Abrijani Pangerapan, B.Sc, Dirjen Aptika Kemkominfo, mengatakan, masifnya pengguna internet menimbulkan beberapa risiko, seperti penipuan online, hoaks, siber bullying dan konten-konten negatif lainnya. Untuk itu, pihaknya terus memberikan dan membekali masyarakat dengan kemampuan litrerasi digital.
“Berbagai pelatihan literasi digital yang kami berikan berbasis empat pilar utama, yaitu, kecakapan digital, budaya digital, etika digital dan pemahaman digital. Hingga tahun 2021 tahun program literasi digital ini telah berhasil menjangkau lebih dari 12 juta masyarakat Indonesia,” tutupnya.