Mary Jane, terpidana mati kasus penyelundupan narkoba asal Filipina, akan dipulangkan ke Filipina. Namun, Mary Jane tidak dibebaskan. Kabar itu disampaikan langsung oleh Presiden Filipina Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr melalui akun Instagram resminya pada Rabu (20/11).
“Mary Jane Veloso akan pulang,” tulis Bongbong dilihat dari akun instagramnya @bongbongmarcos, dilansir dari CNN.
Bongbong menyatakan, kepulangan ini merupakan hasil dari upaya diplomasi dan konsultasi yang dilakukan oleh pemerintah Filipina selama satu dekade lebih untuk menunda eksekusi mati. Presiden Bongbong pun berterima kasih kepada pemerintah Indoensia dan menunggu kepulangan perempuan 39 tahun tersebut.
“Hasil ini merupakan cerminan dari kedalaman kemitraan negara kita dengan Indonesia, yang bersatu dalam komitmen bersama untuk keadilan dan kasih sayang,” kata Bongbong.
Dalam unggahan yang sama, Presiden Bongbong menyatakan bahwa kisah wanita 39 tahun ini menggetarkan banyak orang. Terpidanan mati ini memang bersalah atas kasus penyelundupan narkoba dan harus bertanggung jawab secara hukum, namun itu terjadi karena dia hanyalah seorang ibu dua anak yang tidak punya banyak pilihan. Putus asa dengan keadaan, ibu dua anak itu melakukan satu pekerjaan yang ternyata justru mengubah hidupnya menjadi lebih menyedihkan.
“Terima kasih Indonesia, kami tunggu kepulangan Mary Jane,” ucapnya.
Siapa Mary Jane?
Mary Jane Veloso, berumur 39 tahun, adalah terpidana mati asal Filipina yang ditangkap karena kasus penyelundupan heroin pada 2010 lalu. Dia ditangkap dengan bukti berupa kepemilikan 2,6 kilogram heroin yang dijahit di dalam kopernya. Selama persidangan, wanita 39 tahun ini mengaku bahwa ada orang yang sengaja menjebaknya.
Dikutip dari Tirto, latar belakang kehidupannya memang sangat memprihatinkan. Dia lahir pada 10 Januari 1985 dari keluarga kurang beruntung, anak bungsu dari lima bersaudara.
Pendidikannya hanya sampai SMA, itupun tidak selesai. Di umur 17 tahun, menikah dan dikaruniai dua orang anak laki-laki. Sayangnya, pernikahannya tidak bertahan lama dan akhirnya bercerai.
Untuk membiayai dirinya dan dua anaknya, dia memutuskan merantau ke Dubai pada taun 2009. Di sana, dia bekerja sebagai asisten rumah tangga. Sayangnya, malang menimpa. Di bulan kesembilan bekerja, majikannya berusaha memperkosanya. Kejadian tersebut membuatnya memutuskan pulang ke Filipina.
Tak lama, kenalannya yang bernama Maria Kristina Sergio, menawarkan pekerjaan di Malaysia sebagai asisten rumah tangga lagi. Mary Jane kemudian terbang ke Malaysia. Sayangnya, sesampainya di sana, Maria mengatakan bahwa lowongan pekerjaan itu sudah tidak ada.
Selanjutnya, Maria menyebut sudah menyiapkan lowongan lain untuk Maria, namun pekerjaan tersebut berada di Indonesia. Mary Jane kemudian diminta terbang ke Indonesia.
Dia dititipi koper dengan upah USD 500 atau Rp 8 juta. Sesampai di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, pada 2010, Mary Jane ditangkap dengan barang bukti heroin seberat 2,6 kilogram yang ada di kopernya.
Mary Jane Membantah Kepemilikan Narkoba
Selama persidangan, perempuan berambut panjang itu bersikeras bahwa barang bukti tersebut bukan miliknya. Sayangnya, dia tidak bisa memberikan bukti atas klaimnya tersebut. Wanita asal Filipina kemudian divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Sleman pada Oktober 2010.
Pada Agustus 2011, Presiden Filipina Benigno Aquino III pernah meminta pengampunan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk terpidana ini. Indonesia pun menunda hukuman mati sejalan dengan moratorium yang berlaku pada masa itu.
Bersama dengan 11 terpidana mati lainnya, Mary Jane sempat mengirimkan permohonan grasi kepada Presiden Jokowi. Sayangnya, permohonannnya ditolak. Proses hukuman mati terus berjalan.
Tim pengacaranya kemudian mengajukan Penunjauan Kembali kedua di Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 27 April 2015.
Terpidana ini direncanakan eksekusi pada 29 April 2015. Pada tanggal 24 April 2015, pukul 01.40 WIB, terpidana sudah dipindahkan ke LP Nusakambangan untuk menjalani eksekusi mati. Kemudian, eksekusinya dibatalkan di detik-detik terakhir. Kenapa?
Ternyata namanya tidak masuk dalam daftar terpidana yang dibawa ke lokasi eksekusi di Lapangan Limus Buntu, sekitar pukul 00.00 WIB, dikutip dari Detik.com. Dia kemudian dikembalikan ke LP Wirogunan.
Pengakuan Perekrut Mary Jane
Bak drama, ternyata, sehari sebelum eksekusi, Maria Kristina Sergio datang ke kantor Kepolisian Provinsi Nueva Ecija, Filipina pada pukul 10.30 waktu setempat. Tetapi, dia tidak mengakui terlibat dalam plot penjebakan Mary Jane. Dia juga membantah terlibat dalam sindikat penjualan narkoba. Alasannya datang ke kantor polisi karena mendapat banyak ancaman pembunuhan, salah satunya dari suami Mary Jane, Michael Candelaria.
Justru, dia mengendus gerak-gerik tak biasa Mary Jane saat keduanya berada di Malaysia selama lima hari. Maria mengaku melihat Mary Jane beberapa kali mengobrol di telepon dan tidak tahu apa yang sedang dibicarakan.
Maria Kristina Sergio akhirnya mengakui dirinya dan pasangannya, Julius Lacanilao, terlibat sindikat perdagangan narkoba internasional. Tapi, dia menolak dakwaan bahwa dia memperalat Mary Jane untuk membawa koper yang berisi heroin ke Indonesia.
Dalam pengakuannya, Maria mengatakan kalau temannya yang bernama Ike, seorang warga negara Nigeria, adalah orang yang memberikan koper berisi 2.6 kilogram heroin untuk dibawa oleh Mary Jane ke Indonesia.
Sebelumnya, Biro Investigasi Nasional Filipina telah mencantumkan Maria dan Lacanilao dalam laporan soal penipuan, perekrutan ilegal dan perdagangan manusia.
Pengakuan Maria Kristina Sergio dan pasangannya membuat eksekusi mati terpidana ini ditunda. Kasusnya kemudian berkembang dengan adanya dugaan keterlibatan dugaan perdagangan manusia.
Belum Ada Kesepakatan Pemulangan ke Filipina
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membantah kabar yang menyebutkan bahwa terpidana mati ini dibebaskan. Menurutnya, sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang kepulangan terpidana tersebut ke negaranya. Hingga saat ini, tahanan asal Filipina disebut masih mengikuti kegiatan pembinaan di LP Perempuan Kelas IIB Yogyakarta.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, dan Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengadakan pertemuan dengan Duta Besar Filipina untuk Indonesia, Gina Alagon Jamoralin pada 11 November kemarin.
Dalam pertemuan itu dibahas tentang penyelesaian masalah hukum Mary Jane. Pemerintah Indonesia menghargai permohonan Pemerintah Filipina untuk memindahkan terpidana ke Filipina, namun hal tersebut harus melalui diskusi dengan berbagai pihak.