Keruntuhan rezim Bashar al-Assad di Suriah telah mendorong Israel mengambil langkah militer besar-besaran, termasuk serangan udara ke berbagai target strategis dan pengiriman pasukan darat melintasi zona penyangga yang selama ini didemiliterisasi. Langkah ini merupakan yang pertama kalinya dilakukan dalam 50 tahun terakhir.
Dalam konferensi pers pada Senin malam, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggambarkan situasi tersebut sebagai “babak baru yang penuh perubahan.” Ia mengklaim bahwa jatuhnya rezim Assad adalah hasil dari tekanan besar yang telah diberikan Israel terhadap kelompok-kelompok seperti Hamas, Hezbollah, dan Iran.
“Poros ini belum sepenuhnya hilang, tetapi kita sedang menciptakan perubahan besar di Timur Tengah,” kata Netanyahu.
Kegagalan Assad dianggap sebagai pukulan telak bagi Iran, yakni sekutu utama Suriah, yang menggunakan wilayah tersebut untuk memasok persenjataan ke Hezbollah di Lebanon. Namun, di sisi lain, Israel khawatir bahwa kejatuhan Assad bisa membuka jalan bagi kelompok-kelompok Islam radikal untuk menguasai Suriah, yang berbatasan langsung dengan wilayah Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.
Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, menyatakan bahwa serangan udara Israel menargetkan fasilitas militer Suriah yang menyimpan senjata kimia dan rudal jarak jauh. Langkah ini bertujuan mencegah senjata-senjata tersebut jatuh ke tangan ekstremis.
“Situasi ini sangat penting bagi keamanan Israel. Kami tidak bisa membiarkan senjata-senjata berbahaya ini digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,” ujarnya.
Kerusakan Parah pada Fasilitas Militer Suriah
Saksi mata di Damaskus melaporkan adanya ledakan besar yang mengguncang kota pada Selasa dini hari, melanjutkan serangan udara yang dimulai pada akhir pekan. Sebuah kelompok aktivis bernama Voice of the Capital menyebut serangan ini sebagai yang paling ganas dalam 15 tahun terakhir di Damaskus.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengonfirmasi bahwa serangan terbaru Israel telah menghancurkan armada angkatan laut Suriah di pelabuhan Latakia. Ia menyebut operasi tersebut sebagai “kesuksesan besar.” Foto-foto dari lokasi kejadian menunjukkan kapal-kapal militer yang hancur di pelabuhan tersebut.
Selain itu, pangkalan udara Mezzeh yang terletak di barat daya Damaskus juga menjadi target, dengan gambar yang menunjukkan helikopter militer Suriah yang hancur akibat serangan tersebut.
Tindakan Israel Dikecam Negara Arab
Tindakan Israel menuai kecaman dari negara-negara Arab. Liga Arab menuduh Israel memanfaatkan kekacauan di Suriah untuk memperluas wilayahnya. Pemerintah Mesir menyebut langkah Israel sebagai “eksploitasi kondisi tidak stabil untuk merebut lebih banyak wilayah.”
Meski demikian, militer Israel menyangkal tuduhan tersebut. Juru bicara militer Israel, Nadav Shoshani, menegaskan bahwa pasukan mereka tidak memiliki niat untuk mendekati Damaskus. Ia menyatakan operasi militer ini bertujuan menciptakan zona aman di Suriah selatan, di luar zona penyangga.
Pasukan darat Israel dilaporkan telah memasuki wilayah Suriah, melampaui batas zona penyangga yang didemiliterisasi. Zona tersebut awalnya dibentuk pada 1974 sebagai bagian dari perjanjian setelah Israel menduduki Dataran Tinggi Golan pada 1967. Meskipun telah dianeksasi oleh Israel pada 1981, wilayah tersebut tetap dianggap sebagai bagian dari Suriah oleh hukum internasional.
Kelompok Voice of the Capital melaporkan bahwa pasukan Israel telah mencapai desa Beqaasem, sekitar 25 kilometer dari Damaskus. Lokasi ini berada di kaki Gunung Hermon, sebuah kawasan strategis yang berbatasan dengan Suriah, Lebanon, dan Dataran Tinggi Golan. Namun, kantor berita CNN belum dapat memverifikasi klaim ini secara independen.
Para pejabat Israel tidak memberikan detail mengenai seberapa jauh pasukan mereka akan bergerak atau berapa lama operasi ini akan berlangsung. Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Dannon, dalam suratnya kepada Dewan Keamanan PBB, menyatakan bahwa pengerahan pasukan ini bersifat sementara dan bertujuan mencegah ancaman lebih lanjut terhadap warga Israel.
Langkah agresif Israel di Suriah mencerminkan kompleksitas situasi di kawasan tersebut. Di mana kepentingan keamanan, geopolitik, dan kekhawatiran akan kekosongan kekuasaan bercampur menjadi satu sehingga dimanfaatkan secara menyeluruh. Dengan situasi yang masih berkembang, banyak pihak khawatir konflik ini akan membawa dampak yang lebih luas di kawasan Timur Tengah.