MediaGo – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah untuk membatalkan wacana penerapan sistem dual tarif commuter line Jabodetabek. Wacana aturan dual tarif tersebut didasarkan pada status ekonomi penumpang, mampu tidak mampu atau kaya tidak kaya.
Wacana dual tarif commuter line tersebut memungkinkan masyarakat yang termasuk golongan mampu atau kaya harus membayar lebih mahal biaya perjalanan KRL. Sedangkan bagi golongan tidak mampu akan membayar lebih murah karena disubsidi.
Terhadap wacana tersebut, YKLI mendorong pemerintah melalui Menteri Perhubungan dapat membatalkan wacana kebijakan untuk menerapkan dual tarif tarif Commuter Line di Jabodetabek.
“Sebaiknya Menteri Perhubungan membatalkan wacana kebijakan untuk menerapkan dual tarif di dalam tarif Commuter Line,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam siaran persnya.
Tulus mengungkapkan ada lima alasan mengapa wacana penerapan dual tarif commuter line harus dibatalkan. Pertama, Secara paradigmatis hal tersebut bermasalah, khususnya dari sisi politik managemen transportasi publik. Subsidi untuk transportasi masal harus dilakukan, dan merupakan insentif untuk para pengguna kendaraan pribadi yang migrasi ke KRL.
Kedua, sistem dual tarif commuter line tidak lazim dalam sistem transportasi masal bersubsidi manapun di dunia. Ketiga, Sistem tersebut secara operasional sulit diimplementasikan dan sangat sulit menentukan mana konsumen mampu atau kaya, dan mana konsumen tidak mampu.
Keempat, Sistem dual tarif commuetr line di lapangan akan menciptakan ketidakadilan baru dan bahkan berpotensi menimbulkan chaos dalam pelayanan. Alasan kelima adalah Sistem dual tarif jika diterapkan merupakan suatu kemunduran (setback) yang cukup serius.
Oleh karena itu, lanjut Tulus, hal yang paling rasional adalah mereview tarif eksisting KRL Jabodetabek. Survei YLKI menunjukkan ada ruang bagi pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek sebesar Rp2.000 untuk 25 km pertama.
“Atau, jika tidak naik tarif, pemerintah musti menggelontorkan dana PSO pada managemen KCI, karena sesungguhnya tanggungjawab menyediakan transportasi publik adalah domainnya regulator,” tegasnya.
Ditambahkan, hal yang juga sangat urgent adalah mendorong managemen PT KCI sebagai operator Commuter line, agar berupaya keras untuk meningkatkan pendapatan dari non tarif (non fare box revenue), seperti naming right pada stasiun, iklan komersial, sewa tenan, dan lain-lain. Jadi tidak hanya mengandalkan pada tarif revenue saja.