MediaGo – Taufik Hidayat Syah atau pria yang akrab disapa Chef Taufik ini, mulai membantu peran pemerintah di Provinsi Banten, tekan angka stunting melalui olahan pangan lokal B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman).
Merintis karier sebagai waiters di Kapal Pesiar USA bernama Holland America Line yang dimulai sejak tahun 2004 hingga 2014, Chef Taufik mulai mempelajari produk makanan dan minuman.
Namun, olahan yang dipelajarinya hampir seluruh jenis makanan Eropa Continental. Tak ada karbohidrat seperti nasi dan yang digunakan hanya labu atau pumkin.
“Sedangkan di Indonesia labu kuning seperti itu biasanya untuk kolak saja. Dan, saya berpikir bahwa banyak bahan pangan lokal yang sebetulnya kalau kita kreasikan di dalam bentuk makanan itu bisa menjadi berbagai macam variasi dari mulai kue sampai pun makanan utama,” papar Chef Taufik dalam keterangannya, Kamis (15/12/2022).
Selama 10 tahun menimba ilmu olahan pangan di kapal pesiar, di tahun 2014 ia mulai memberanikan diri untuk mengajar dan memberikan pengalamannya mengolah makanan kepada muridnya. Puncaknya, selama tiga tahun mengajar atau tepatnya di tahun 2017, Taufik dipercaya untuk menjadi chef demo.
Dengan keahliannya yang didapat soal olahan pangan lokal B2SA, ia diminta Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Banten memberikan demo masak. Di mana, olahan yang disajikan tanpa menggunakan bahan terigu, beras dan turunannya.
“Di 2014 saya terus mempelajari dan kemudian mulai memberikan dipercaya untuk memberikan pelatihan tentang olahan pangan lokal B2SA yang mana kita tidak menggunakan bahan terigu dan juga beras dan turunannya. Kenapa? karena terigu itu kan kita tidak punya lahannya tapi kita impor. Jadi untuk menguatkan pangan yang lain kita mengambil karbohidrat dari pangan lokal kita seperti jagung dan umbi-umbian,” terang Chef Taufik.
Taufik juga menjelaskan, olahan pangan B2SA yang digunakan juga dapat membantu peran pemerintah untuk menekan angka stunting di Indonesia khususnya di Provinsi Banten.
“Olahan pangan B2SA utamanya adalah untuk mencegah atau mengurangi stunting. Karena selama ini masih kurang kesadarannya untuk mengkonsumsi makanan yang betul-betul komplit seperti tidak hanya karbohidrat dan protein hewani, makan nasi dan telur tetapi kurang seperti protein nabatinya. Sedangkan nabati kita bisa dapat dari tempe tahu oncom kacang-kacangan dan lain-lain sayurnya dan juga buahnya,” ujarnya.
Kesadaran itu yang dilihatnya masih kurang. Dengan keahliannya, Chef Taufik ingin mengajak seluruh masyarakat bisa membuat olahan makanan yang sehat serta bergizi dan tentunya tak mahal.
“Kesadaran itu yang masih kurang sehingga mungkin dari gizi buruk atau banyaknya kasus stunting dari kurangnya pemahaman masyarakat kita untuk mengkonsumsi makanan yang beragam bergizi seimbang dan aman,” ungkapnya.
“Sebetulnya banyak pangan lokal kita yang murah yang bisa kita gunakan seperti singkong atau ubi, ada talas sente, talas beneng yang kita bisa jadikan seperti kue atau kudapan atau kita bisa jadikan misalnya seperti french fries ya. Tapi kita tidak menggunakan kentang tapi kita bisa menggunakan umbi-umbian,” tambahnya.
Chef Taufik berharap, dengan ilmu yang dibawanya untuk disampaikan ke masyarakat bisa tersampaikan dengan baik. Apalagi, di tahun depan 100 resep olahan pangan lokal berbentuk buku akan dilauncing secara luas.
“Sosialisasi ke masyarakat itu kita tidak bisa hanya mengajarkan teknik memasaknya dan kesulitan mencari bahan-bahan yang sesuai resep. Nanti, saya selalu memberikan resep atau menu yang mudah dicari oleh masyarakat nantinya ketika mereka akan membuat melalui 100 resep menu olahan pangan lokal yang nantinya mungkin akan bisa digunakan,” tandasnya.
Dengan adanya resep menu olahan pangan lokal, diharapkan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai B2SA dan bisa menekan angka gizi buruk atau stunting.
“Kita harapkan dari kesadaran masyarakat ini maka kasus seperti stunting atau kurang gizi buruk atau kekurangan gizi itu bisa betul-betul kita tekan ya seperti itu terutama di Provinsi Banten,” tutup Chef Taufik.